Kamis, 04 Oktober 2007

Potret Muhammad saw

Potret Muhammad saw

Muhammad adalah kesahajaan yang menjelama dalam bentuk manusia, lalu dari lubuk hatinya yang paling dalam menghapus gemerlapnya pemimpin dan kerajaan; perhiasan dan kepongahan; serta ucapan dan perbuatan yang menipu manusia.

Perbuatannya terlahir dengan alamiah, masing-masing menunjukkan akan kepribadiannya, sebagaimana foto yang menunjukkan pemiliknya. Dengarkanlah penuturan Adi bin Hatim yang tadinya mengira bahwa ia akan bertemu dengan seorang Raja di Madinah.
“Aku mendatangi Muhammad yang sedang duduk di masjid, lalu aku mengucap salam kepadanya”.

Beliau bertanya, “Siapakah Anda?”.

“Adi bin Hatim”, jawabku singkat

Beliau berdiri dan membawaku ke rumahnya. Demi Allah, beliau benar-benar tetap menggandengku ketika ada seorang perempuan tua renta menghentikannya lalu beliau berdiri lama mendengarkan ia mengutarakan keperluannnya. Dalam hati aku berkata, “Demi Allah, ini bukan Raja”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan membawaku masuk ke rumahnya. Beliau mengambil bantal yang terbuat dari kulit dan diisi serat, lalu diberikan kepadaku seraya mengatakan, “Duduklah di atas bantal ini”. Aku menjawab, “Tidak, Anda saja”. Beliau mengatakan, “Tidak, Anda saja”. Akhirnya akupun duduk di atas bantal itu, sedangkan Rasulullah duduk di tanah. Dalam hati aku berkata, “Demi Allah, ini bukan kebiasaan Raja”.

Begitulah tabiat Rasulullah saw, tidak ada yang dibuat-buat. Adi bin Hatim yang sebagian keluarganya telah ditawan oleh kaum Muslimin itu datang sebagai pihak yang kalah, namun duduk di atas bantal sementara beliau sendiri duduk di tanah.

Kemudian perhatikanlah, Ibrahim putranya telah meninggal. Terjadi gerhana matahari; waktu itu orang-orang mengatakan, “Gerhana matahari ini terjadi karena kematian Ibrahim.” Mendengar itu beliau berdiri di masjid dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda kekuasaan Allah. Tidak terjadi gerhana pada keduanya karena seseorang mati ataupun hidup.”

Inilah dia jiwa merdeka yang cinta dan merindukan kebenaran. Rendah hati dan enggan memanfaatkan kecurangan apa pun bentuknya.

Perhatikan pula bagaimana beliau meminta izin kepada seorang sahabatnya dan bagaimana cara beliau meninggalkan tempat.

Qois bin Sa’ad berkata: Rasulullah saw mengunjungi kami, beliau mengucap: “Assalamualaikum warokhmatullah.” Ayahku menjawab dengan lirih sehingga aku bertanya, “Tidakkah ayah mengizinkan Rasulullah?” Ayahku menjawab, “Biarkan, agar salam itu semakin banyak kepada kita.” Lalu Rasulullah mengulang salamnya, kemudian beliau pulang sehingga ayahku mengejarnya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendengar salam baginda dan aku telah menjawab salam baginda dengan lirih agar salam itu semakin bannyak buat kami.”

Lalu ia beranjak bersama Rasulullah saw, Sa’ad mempersilakan beliau untuk mandi. Setelah mandi ia memberikan handuk yang telah ditaburi za’faron. Beliau saw pun menggunakannya, kemudian mengangkat kedua tangannya semabri berdoa: “Ya Allah, jadikanlah sholawat dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad.”

Ketika hendak pulang, Sa’ad mendekatkan keledai kepada beliau, Sa’ad berkata: “Qois, temani Rasulullah!” Aku pun menemaninya. Beliau berkata, “Naiklah bersamaku!” Aku tidak mau sehingga beliau berkata, “Pilih salah satu, naik bersamaku atau pulang saja.”

Itu adalah kunjungan pemimpin Arab dan ‘Ajam kepada salah satu pendukungnya di kota Madinah. Suatu kejadian yang biasa saja, tanpa prosedur, tanpa jamuan, tanpa peristiwa monumental lainnya. Datang dengan berjalan kaki, pulang menunggang keledai dan mengizinkan agar pendampingnya memboncengnya.

Itulah yang menyebabkan perintah Muhammad ditaati dan ketaatan kepadanya menjadi ibadah.

Tidak ada komentar: